Hadeeeuuuh…belasan tahun sebenarnya gw nggak peduli sama politik, udahlah kerja aja. Gunakan pikir dan raga untuk berkarya, menjadi manusia yang produktif menghasilkan barang atau jasa.
Masuk FMIPA UI tahun 1992, pindah ke FTUI tahun 1993, gw mulai ikut demo sewaktu Soeharto membredel Tempo (1994). Setahun kemudian Sri Bintang Pamungkas dipenjara atas tuduhan makar, jadilah demo-demoan juga demi Pak Dosen yang sempat mendirikan “partai ke-4” (zamannya cuma boleh ada PPP-Golkar-PDI) dan mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Tahun itu juga gw ikutan demo anti reklamasi Teluk Jakarta, jadi panitia seminar Call of The Earth (COTE) 1995 yang diselenggarakan oleh kelompok mahasiswa pecinta alam KAPA FTUI membahas manfaat dan dampak proyek yang digawangi keputusan presiden itu.
Tahun 1996, ramenya karena Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Ketua Umum PDI namun pemerintah mengintervensi dengan mendukung Soerjadi sehingga terjadilah insiden 27 Juli. Tahun yang heboh, LBH jadi tempat nongkrong gw sekalian solider sama yang hampir mati karena mogok makan (gw cuma bisa bantu mengolesi bibir mereka yang kering berdarah dengan air supaya berkurang penderitaan badan yang sudah kering nggak bisa bergerak).
Tepat 20 tahun yang lalu, gw masih demo-demoan karena Soeharto kembali “terpilih menjadi Presiden RI secara aklamasi oleh seluruh anggota DPR/MPR-RI”, Mbak Tutut menjadi Mensos, lalu ekonomi terpuruk akibat dolar AS yang melonjak nilai tukarnya dari Rp.2,500 menjadi Rp.15,000 (harga Indomie naik dari Rp.200 menjadi Rp.700 per bungkus). Ada berkahnya juga sih, gw jual cincin dan anting laku Rp.150,000 per gram (setahun sebelumnya cuma Rp.35,000).
Setahun kemudian, tanggal 12 Mei 1998, gugur Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam Kampus Trisakti, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Keesokan harinya, tanggal 13-15 Mei 1998, meletuslah kerusuhan di Jakarta yang diskenariokan “pribumi vs China”. Hancurlah perekonomian bangsa. Soeharto kehilangan dukungan. Menteri-menteri dan lembaga legislatif/yudikatif membelakangi. Militer tidak lagi taat pada tirani. Saya dan teman-teman bisa menduduki Senayan (terima kasih buat Jenderal Wiranto yang telah mengizinkan kami). Tanggal 21 Mei 1998 akhirnya Soeharto mengundurkan diri.
Tugas gw sebagai aktivis pun selesai. Waktunya kembali ke kampus, lulus sidang skripsi tanggal 30 Desember 1998, diwisuda sebulan kemudian, akhirnya jadi karyawan baik-baik, cari duit dengan cara biasa seperti orang kebanyakan (amit-amit jangan sampai kayak FH dan FZ), menikah dan punya anak.
Pemerintahan silih berganti, gw nggak peduli. Bahkan ketika bertemu lagi dengan Pak Bintang (pembimbing thesis selama S2 di Teknik Industri UI, 2008-2010) pun gw lebih tertarik ngomongin gosip artis ketimbang kondisi dan masa depan Indonesia. Nggak usah dipikirin, jalanin aja, negara ini toh baik-baik aja walaupun presidennya lebih sibuk bikin lagu ketimbang kerja, sesekali dia curhat di TV kalau lagi ketakutan diincar sniper, sementara itu Rp.6 triliun raib dari brankas BI (konon buat menyelamatkan Bank Century), puluhan proyek pemerintah mangkrak dan rakyat harus survive sendiri bagaikan naik pesawat dalam mode auto-pilot.
Namun ternyata terpaksa juga gw ngomongin politik saat Jokowi tampil di Pilkada DKI 2012. Gw (yang cuma seorang di antara jutaan orang yang menginginkan perubahan) nggak boleh lagi cuma diam. Gw harus bergabung bersama yang lain memberi kesempatan bagi orang baik agar bisa menjadikan negara ini kembali mendapatkan kejayaan seperti di masa Sriwijaya dulu…negara maritim yang kaya buminya, tinggi kebudayaannya, masyhur jauh dari China sampai ke Madagaskar melintasi samudera.
Pilpres 2014 mengangkat Jokowi menjadi Presiden RI against all odds. Akhirnya menang melawan pensiunan jenderal dari trah Cendana yang kaya raya itu sesuatu banget lho buat seorang pengusaha meubel yang keluarganya diisukan bukan wong Jowo Muslim melainkan aslinya China Kristen, ibunya komunis Gerwani, dia sendiri disebut pendukung Syiah sekaligus antek Amerika zionis kapitalis (tinggal badge LGBT yang belum disematkan kepadanya).
Dupol (saingan dumay dan dugem) mulai heboh lagi sejak tahun 2016 yang lalu. Klimaksnya kemarin (9 Mei 2017), Ahok divonis 2 tahun penjara sehingga langsung menjalani hukuman. Kesalahannya: Menyampaikan kebenaran bahwa “Jadi saya ingin cerita ini supaya bapak ibu semangat. Jadi enggak usah pikiran ‘Ah nanti kalau enggak kepilih pasti Ahok programnya bubar’. Enggak, saya sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho (orang-orang tertawa-red). Itu hak bapak ibu, ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak bisa pilih nih, saya takut masuk neraka dibodohin gitu ya, enggak apa-apa, karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibu enggak usah merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa pilih Ahok, enggak suka sama Ahok nih. Tapi programnya, gue kalau terima, gue enggak enak dong sama dia. Kalau bapak ibu punya perasaan enggak enak nanti mati pelan-pelan lho kena stroke. (orang-orang tertawa-red)”
Maka gw nggak bisa lagi diam sebagai silent majority. Pilpres 2019 sebentar lagi, perjuangan melalui medsos harus sudah dimulai.
You must be logged in to post a comment.