Iftari Menu – May 27, 2017

A couple of nights ago, I dined out at McDonald’s, surprised to see their new fish menu after decades of fried chicken or beef burger.

A value meal package of fish and fries with lime squash was Rp.37,500 (a la carte Rp.33,500). It reminded of my Aussie trip when I ate fish and fries almost every day because only this menu would be halal in any restaurants.

Inspired by that dinner,  for first iftar in this Ramadan 1438 Hijri then I cooked fried Nila Tilapia fish, served with fried potatoes and mayonnaise. For drink, I got nata de coco in cocopandan syrup.

FISH N FRIES

I got two chunks of Nila Tilapia fish fillets for Rp.15,405 (they sold it Rp.81,950 per kg – exchange rate: US$1 = Rp.13,300) at Superindo, Arion Mall near my home.

This species got the name because it was originally from Nile River, Egypt.

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Nile_tilapia

Quick and easy preparation (that’s why fast food restaurants sell it), just dipped into flour batter then deep fried. A cheap and healthy source of protein.

NATA DE COCO IN COCOPANDAN SYRUP

Chewy, jelly-like nata de coco cubes were made by fermenting coconut water. Pinoys were the ones who made it first.

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Nata_de_coco

I served it with Marjan syrup in cocopandan flavour, a perfect combination.


Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa ‘ala rizkika afthartu birahmatika ya arhamarrahimin… 

​Welcome Back, PT Pos Indonesia

A bit late, but better than never. Sejak tahun 2010, saya mulai kegilaan belanja online. Waktu itu sering beli tas Kate Spade, Juicy Couture dll melalui e-Bay, buku-buku dan CD melalui Amazon, atau barang-barang fashion sisa import dan pre-loved items dari penjual lokal melalui Multiply (kemudian diakuisisi TokoBagus.com yang kini defunct menjadi OLX).

Strangely, nggak pernah pengiriman lokal menggunakan PT Pos Indonesia (nggak seperti USPS kalau barang dari Amerika, atau India Post kalau dari India), barang lokal selalu menggunakan TIKI atau JNE, belakangan juga Wahana atau J&T. Alasannya: Murah!

Tarif pengiriman melalui PT Pos Indonesia selalu jauh lebih mahal. Barang dari Jogja ke Jakarta bisa hanya Rp.5,000 per paket di bawah 1 kg, melalui PT Pos nggak akan kurang dari Rp.15,000.

Sayang sekali manajemen BUMN itu telat mengantisipasi mengingat mereka ada keuntungan sebagai “pemain lama” yang punya jaringan dari Sabang sampai Merauke sejak puluhan tahun sebelum hadir penyedia jasa kiriman barang yang lain.

Beberapa kali semasa masih sering berkirim surat dulu, saya tetap menerima walaupun hanya bertuliskan “Desrinda Syahfarin, Rawamangun, Jakarta Timur”. Kata Pak Pos waktu itu, “Kita khan ngapalin pelanggan juga, Bu,”

JNE yang paling progresif dan agresif. Dalam promo HARBOKIR (hari bebas ongkos kirim) lalu, mereka menerima order pengiriman sampai hampir satu juta paket dalam dua hari.

http://solo.tribunnews.com/2016/12/02/pengiriman-meningkat-108-persen-jne-kirim-hampir-sejuta-paket-di-hari-bebas-ongkos-kirim

Very strong branding strategy. Sekarang JNE nyaris identik dengan belanja online. Apa pun, di mana pun belanjanya, kirimnya pakai JNE. Saking seringnya, pernah saya belanja online tapi lupa mencantumkan alamat lengkap (hanya “Desrinda Syahfarin, Jl MH Thamrin No 1, Jakarta Pusat”) eh sampai lho…tanpa nama kantor atau gedung/lantai, diantar sama Pak Ahmad, kurir yang bolak balik ngantar ke Menara BCA.

Anyway itu khan perusahaan swasta, jadi senang juga saya sekarang PT Pos mulai turun bertarung, nggak lagi berlaku seperti penyedia jasa yang tambun tapi jual mahal dan malas bergerak (ditambah dulu ada stigma bahwa barang yang dikirim lewat PT Pos biasanya udah diutak-atik dan suka dikutil petugas).

Ada gratis ongkos kirim nih…mari kita belanja di Tokopedia dan kirimnya pilih PT Pos Indonesia.

Saudi Arabia = Pelanggan Terbesar Produk Militer Amerika

“Jobs, jobs, jobs,” begitu kata Donald Trump kemarin di Riyadh setelah pertemuan dengan Putra Mahkota Kerajaan Saudi Arabia, Pangeran Muhammad bin Nayef.

Dalam kesempatan itu ditanda-tangani perjanjian bisnis senilai US$110 miliar (Rp.1466 triliun) untuk meningkatkan kemampuan militer Saudi Arabia, dengan potensi dinaikkan hingga US$350 milliar selama 10 tahun ke depan.

Buat AS, meningkatnya business deal dengan Saudi itu berarti tambahan puluhan ribuan lapangan pekerjaan untuk memproduksi kapal perang, tank, sistem pertahanan rudal, dan cybersecurity technology yang dibutuhkan Saudi “untuk melawan terorisme”.

US$6 miliar (Rp.80 triliun) dialokasikan untuk perakitan 150 unit helikopter Lockheed Martin Black Hawk di Saudi Arabia, yang akan menyediakan 450 jenis lapangan pekerjaan baru di sana.

https://www.voanews.com/a/trump-to-meet-dozens-of-muslim-leaders-leaders-during-saudi-visit/3862443.html

Sekedar perbandingan, dari APBN RI 2017 yang totalnya Rp.2080 triliun, militer “cuma” mendapatkan Rp.108 triliun.

http://www.beritasatu.com/nasional/393947-2017-anggaran-kemhan-rp-108-triliun.html

Sebagian besar dana itu dialokasikan untuk TNI AD, itupun “cuma” Rp.46 triliun pertahun untuk menjaga kedaulatan bangsa dan menjamin keamanan 255 juta rakyat Indonesia yang tinggalnya tersebar di 17 ribu pulau.

https://m.tempo.co/read/news/2017/01/23/078838829/anggarkan-rp-46-triliun-untuk-2017-ini-rencana-tni-ad

Kayaknya sih selama ini cukup ya, walaupun sebaiknya bisa lebih banyak lagi, terbukti Sang Merah Putih masih berkibar dari Sabang sampai Merauke.

TNI-Polri sudah berhasil menumpas segala gerakan separatis/teroris bersenjata (DI/TII, MIT, GAM dll) namun masih harus menghadapi beberapa kelompok lagi yang mencoba memisahkan Papua, Maluku Selatan dll dari NKRI, nah…masih ditambah “kerjaan ngeselin” menghadapi ormas unyu-unyu yang ngotot mendirikan kekhalifahan (HTI) atau mendirikan NKRI Bersyariah dipimpin Sang Imam Besar (FPI).

Saya bayangkan, pasti pusing sekali kalau berada di posisi Jenderal Gatot Nurmantyo dan Jenderal Tito Karnavian yang harus mengatur anggaran keuangan yang seciprit itu. Duit Rp.108 triliun untuk menjaga 1,9 juta km persegi daratan dan 3,2 juta km persegi lautan berarti Rp.21 juta per tahun untuk menjaga setiap kilometer persegi wilayah Indonesia (baik rakyat yang tinggal di sana maupun aset negara dan kekayaan alamnya).

Beda banget ya dengan Saudi, segitu besar nilai uang yang dianggarkan untuk kegiatan militernya dengan belanja senjata dll ke Amerika. Jelas bukan untuk membebaskan Palestina dari penjajahan. Mungkin untuk menjajah Yaman, mempersenjatai “pemberontak Sunni melawan pemerintah Syiah” di Iraq dan Suriah, bahkan kalau perlu untuk menyerang Iran?

Nauzubillah min zalik.

Martabak Mahal

Saya suka sekali makan martabak manis, dulu waktu saya kecil orang bilang “martabak bangka” (entah karena berasal dari daerah Bangka di sebelah timur Sumatera Selatan itu, atau karena penjualnya hampir selalu lelaki tua bangka).

Sejak SD sampai lulus SMA, setiap kali ranking 1 di kelas (dan itu seringkali terjadi) maka saya mendapat hadiah dari almarhum ayah berupa satu kotak martabak manis bertabur kacang dan meises coklat UNTUK DIMAKAN SENDIRI. Nggak perlu bagi-bagi dengan ayah atau bunda atau adik-adik. Wuih…rasanya udah surga dunia itu, hahahaha…

Martabak manis pun jadi obsesi karena buat saya identik dengan “penghargaan”. Nikmat rasanya kalau saya peroleh “berkat prestasi akademis”.

Sejak kuliah, entah kenapa saya nggak lagi jadi yang terbaik di kelas. Bukannya jadi malas belajar, dari dulu pun saya nggak pernah rajin belajar kok. Cuma beruntung bahwa pelajaran selalu gampang “nyantol” di kepala. Masalahnya, jadi anak UI berarti banyak “kegiatan ekstrakurikuler” yang lebih menarik diikuti ketimbang duduk di kelas, hehehe…ya nggak pernah lagi deh dapat “sekotak martabak manis sebagai penghargaan akademis”.

Beberapa tahun belakangan ini, martabak manis naik kelas dari “street food” yang hanya dijual bapak-bapak tua di gerobak nongkrong di pinggir jalan menjadi “high street cuisine”. Mulai bermunculan warung-warung martabak dengan variasi “tipker” (tipis kering) sekitar 10-11 tahun yang lalu di kawasan Fatmawati, Taman Mini dll, lalu diperkenalkan martabak model “pizza” (disajikan datar tanpa dipotong dua lalu dilipat) seperti yang ditawarkan Martabak Matahari dan Martabak Orins, kemudian nongol martabak beraneka rasa a la Markobar-nya Mas Gibran, dan akhirnya adonan martabak pun bukan sekedar yang “biasa” melainkan divariasikan menjadi red velvet, green tea dll.

Bolak balik antar jemput Alif kursus menggambar saban Sabtu, saya selalu lewat di depan restoran Martabak Teng Go, Jalan Velodrome, Rawamangun, Jakarta Timur. Nggak pernah tertarik sih, pasti mahal. Ngapain. Martabak manis di gerobak pinggir jalan paling mahal Rp.30 ribu, kalau resto begitu mana dapat Rp.50 ribu?

Anyway sesekali boleh lah ya agak borju. Indonesia udah 7x ganti presiden, masa’ gw proletar melulu. Sabtu siang, 20 Mei 2017, tadi mampir deh. Beli seloyang martabak dari adonan merah red velvet (pilihan selain original, kopi, ketan hitam, ungu taro, hijau pandan) dengan topping cream cheese dan Oreo. Harganya Rp.85,000 + 10% = Rp.93,500. Wuih, seharga sekilo daging, atau 3x lipat harga martabak pinggir jalan!

Emang enak sih…tapi jadinya ngewanti-wanti Alif: “Mas, nggak usah pacaran deh kalau ceweknya ngajakin makan martabak mahal gini. Putusin. Pasti cewek matre tuh. Cari yang lain aja, yang mau diajak makan martabak pinggir jalan!”

#sigh

Surat Untuk Ibunda

Hari Minggu kemarin Alif minta dibelikan kertas, katanya untuk tugas sekolah.

Senin pagi-pagi tadi, dia keluarkan kertas itu lalu mulai mengerjakan tugasnya.

“Disuruh ngapain sih, Nak?” tanya saya.

“Bikin surat untuk ibu masing-masing lalu minta tanggapannya,” jawab Alif.

“Oooo…” lalu saya pun berlalu menuju dapur memasak sarapan dan menyiapkan lunch box nya.

Sejenak kemudian terdengar hiks…hiks…dia menyedot hidung, seperti pilek. Belakangan baru saya sadar bahwa ternyata dia tersedu sendiri saat menulis surat untuk saya itu.

Ini yang dia tulis:

“Jakarta, 15 Mei 2017

Salam sayang untuk Bunda.

Bunda, aku menyayangi Bunda.

Selama sembilan bulan kau mengandungku, engkau mempertaruhkan nyawa demi melahirkanku, selama 12 tahun kau merawatku. Bunda menyayangi dan merawatku bahkan ketika aku membuatmu marah.

Bunda selalu memikirkan yang terbaik untukku, mengajariku berbagai hal, membantuku mengerjakan tugas-tugasku, memberikanku berbagai benda, serta menghiburku.

Buah hati Bunda,

Alif”

Ah…giliran mata saya yang basah saat membacanya ketika harus menulis tanggapan di balik kertas itu.

“Anakku sayang,

Makasih banyak buat suratnya.

Bunda sayang banget sama Mas Alif. Sejak dalam kandungan sampai kapanpun Bunda akan selalu merawat dan menjaga Mas Alif.

Tumbuhlah menjadi orang yang benar ya Sayang…”

A very good initiative. Excellent way to improve children’s relationship with their parents.

Sudahkah Anda menulis surat untuk orang tua Anda hari ini?

Islam dan China

Ada pepatah Arab, “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China” (utlubul ilm walaw bissin).

Kenapa yang disebut nama negeri itu China ya? Bukan ke Rum (Romawi, begitulah Eropa dulu disebut orang Arab), juga bukan ke negeri-negeri lain.

Setelah ngebolang ke Turki, China, dan keliling Jawa (backpacking ziarah Wali Songo) baru saya tahu bahwa sebenarnya China memang negeri yang dekat di hati umat Islam.

Pertama, Sa’ad bin Abi Waqqas radiallahu anhu (paman Rasulullah salallahu alayhi wassalam) pada tahun 616 masehi sesudah hijrah ke Najasi yang dipimpin oleh raja beragama Nasrani itu (5 tahun sebelum tahun pertama hijriyah) tidak langsung kembali ke Makkah untuk berkumpul kembali dengan komunitas Muslim bersama Kanjeng Nabi melainkan melakukan perjalanan bersama beberapa sahabat menjadi rombongan Muslim yang pertama kali mengunjungi China. Kaisar China waktu itu tidak masuk Islam, tapi mempersilahkan dakwah di sana.

https://en.wikipedia.org/wiki/Sa%60d_ibn_Abi_Waqqas

Ketika beliau kembali mengunjungi China tahun 650, dibangunlah Masjid Huaisheng di Guanta Lu, Guangzhou, yang masih berdiri hingga sekarang dan juga disebut Masjid Sa’ad bin Abi Waqqas. Saya mendapat rezeki sudah mengunjungi dan shalat di masjid itu, minum dari air sumur yang dibangun lebih dari 13 abad yang lalu dan masih mengalir airnya. Bangunannya tidak asli lagi karena sudah kebakaran dll, but really a must-visit place for Muslim.

https://perjalananbunda.wordpress.com/2013/02/01/hong-kong-china-macau-travel-note/

Jadi, negeri China itu adalah sekutu buat umat Islam karena dulu kaisarnya selalu Muslim-friendly sebelum akhirnya menjadi republik rakyat yang pemerintahan komunisnya otoriter sejak runtuhnya kekaisaran di tahun 1911.

Kedua, untuk menyelamatkan diri dari kejaran pasukan kekhalifahan Bani Umayyah sesudah syahidnya Imam Hussein bin Ali bin Abi Thalib radiallahu anhu di ujung pedang pasukan Khalifah Muawiyah, banyak ahlul bayt yang bermigrasi ke timur menuju Afghanistan, Pakistan, terus sampai ke China.

Laksamana Cheng Ho yang terkenal di Indonesia pun bukan asli China. Kalau di sini orang Indonesia yang rasis bilang warga keturunan China sebagai “non-pribumi”, maka kayaknya sih versi rasisnya orang China di tanah kelahirannya sana akan bilang Cheng Ho sebagai “non-pribumi” juga.

https://en.wikipedia.org/wiki/Zheng_He

Kakek buyutnya Cheng Ho adalah Sayyid Ajjal Syamsuddin ‘Umar, keturunan ke-27 dari Rasulullah salallahu alayhi wassalam melalui Ali bin Abi Thalib radiallahu anhu dan Fatimah binti Muhammad radiallahu anha, wali yang pertama kali membawa ajaran Islam ke Provinsi Yunnan, di China bagian selatan/barat daya (di perbatasan dengan Pakistan).

https://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Ajjal_Shams_al-Din_Omar

Ketiga, bisa dilihat buktinya di Museum Militer di Istanbul bahwa para sultan Turki aslinya beretnis China, bukan Arab.

https://perjalananbunda.wordpress.com/2014/01/12/askeri-muze-military-museum-istanbul-turkiye/

Menggunakan nama-nama Arab hingga disebut sebagai Bani Utsmaniyyah dalam Bahasa Indonesia (dan dipuja-puji oleh seluruh ustad/kader PKS), mereka menyebut diri sebagai Osmanli Imperatorlugu (Kekaisaran Bani Osman) sejak masuk Islam dan secara umum beretnis Turkish, dulunya menempati wilayah yang disebut Turkistan, kini disebut sebagai etnis Hazara di Afghanistan dan Pakistan (cowoknya ganteng-ganteng dan trendy kayak bintang K-Pop lhooo…).

https://en.wikipedia.org/wiki/Turkic_peoples

Keturunannya yang menetap di sana (tidak bermigrasi ke Timur Tengah) kemudian menjadi nenek moyang etnis China Uyghur.

https://en.wikipedia.org/wiki/Uyghur_Khaganate

Menjadi masalah keamanan bagi pemerintah China sekarang karena mereka berusaha memerdekakan diri sebagai negara Islam. Beberapa orang China Uyghur bahkan tertangkap atau tertembak mati sebagai teroris di Indonesia karena bertempur di pihak Santoso (pemimpin gerakan pemberontak bersenjata MIT, Mujahidin Indonesia Timur) melawan pasukan keamanan.

http://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/22/jejak-jaringan-teroris-internasional-dari-suku-uighur-di-indonesia?page=2

Keempat, China dan kerajaan-kerajaan di Nusantara dahulu punya relasi bagus sehingga beberapa putri dari kekaisaran menikah dengan raja-raja di sini. Di antaranya: Raja Brawijaya menikahi putri dari China yang kemudian melahirkan Raden Patah (pendiri Kesultanan Demak, pemerintahan Muslim pertama di Pulau Jawa), salah satu istri Sunan Gunung Jati (kakek buyut KH Said Aqil yang bernama asli Syarif Hidayatullah, memimpin Kesultanan Banten-Cirebon tahun 1479 – 1568, berdarah bangsawan pribumi juga ahlul bayt karena ibunya Rara Santang menikah dengan Sayyid Abdullah) pun berasal dari China.

Jadi, jangan benci-benci sama China yaaaaa… Saudi aja bulan lalu berinvestasi US$65 di China (sementara Raja Salman di Indonesia hanya berkomitmen investasi sepersepuluhnya).

asw_beijing

PS. Hari Tanoe itu anaknya Ahmad Tanoesoedibjo yang Muslim taat, pernah menjadi Ketua Persatuan China Muslim se-Jawa Timur, kalau masuk Islam kayaknya HT pasti bisa jadi Presiden RI pertama yang beretnis China.

Hadist Mengenai Berdiam di Masjid

Random hadith this afternoon while waiting for Isha time.


Saya suka sekali dengan apps ini karena ada opsi mencarikan hadist secara acak untuk dibaca. Jatah malam Minggu ini adalah kitab Ibnu Majah bagian berdiam di masjid dan menantikan waktu shalat berikutnya.
Hadist pertama: Rasulullah salallahu alayhi wassalam berkata, “Jika salah satu di antara kalian memasuki masjid, dia berada dalam keadaan shalat selama niatnya datang ke sana adalah untuk melakukan shalat, dan malaikat akan mendoakan siapa saja yang berdiam di tempatnya melakukan shalat: ‘Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, terimalah taubatnya.’ selama tidak batal wudhunya juga tidak mengganggu yang lain.”
Hadist kedua: Rasulullah salallahu alayhi wassalam berkata, “Tidaklah seorang Muslim datang ke masjid untuk melakukan shalat dan mengingat Allah melainkan Allah merasa gembira melihatnya seperti keluarganya berbahagia bertemu dengannya setelah lama tak bersua.”
Hadist ketiga: Abdullah bin Amr berkata, “Pada satu ketika kami melakukan Shalat Maghrib bersama Rasulullah salallahu alayhi wassalam kemudian siapa yang berkehendak pergi dari masjid pun pergi dan siapa yang berkehendak berdiam pun berdiam di sana. Tiba-tiba Rasulullah salallahu alayhi wassalam berlari balik ke masjid terburu-buru hingga kehabisan napas, sambil menyingsingkan pakaiannya hingga ke lutut, lalu berkata: ‘Berbahagialah, sesungguhnya Tuhanmu telah membuka salah satu pintu gerbang surga lalu berbangga di hadapan malaikat – Lihatlah hamba-hambaku, mereka sudah menyelesaikan satu tugas wajib dan sedang menanti untuk mengerjakan tugas berikutnya-‘.”
Ketiga hadist itu mengingatkan saya bahwa masjid bukanlah tempat biasa, bukan sekedar sebuah ruangan di pojokan kantor, mall, dll tempat umum (bahkan di perusahaan tempat saya bekerja beberapa belas tahun yang lalu manajemen tidak menyediakan mushala sehingga karyawan harus shalat di tangga darurat).
Masjid adalah tempat istimewa di mana kita bisa berdoa dan sekaligus didoakan oleh para penghuni langit. Begitu kita memasuki masjid, maka anggaplah kita langsung berpindah dunia ke tempat di mana segala urusan dunia seharusnya bisa kita abaikan sejenak, bukan seperti orang kebanyakan masih membawa ponsel ke dalam masjid untuk saling berkirim pesan dll.
Beberapa kali ada rekan-rekan kerja yang berbincang ngalor ngidul tentang urusan dunia dengan suara yang kencang pula di dalam mushala kantor padahal saat shalat buat saya adalah waktunya berkomunikasi dengan Allah Subhana Wa Ta’ala sehingga saya butuh ketenangan (beda khan rasanya ketika kita berbincang dengan seseorang di tempat sepi dengan di tengah keramaian sehingga banyak yang “menganggu konsentrasi”).
Hadist-hadist itu mengingatkan saya akan keutamaan berdiam di masjid, sejalan dengan hadist pertama, bahwa selama kita menantikan waktu shalat berikutnya (jika tidak batal wudhu juga tak menganggu yang lain) di dalam masjid, maka Allah menyaksikan dan menyambut gembira, sehingga para malaikat pun mendoakan…jadi nggak pantes kita ngobrol ngalor ngidul ketawa ketiwi apalagi menyebar fitnah atau menghasut di dalam ruangan shalat sehingga menganggu jama’ah lain. Bicarakanlah hanya amar ma’ruf nahi munkar, hablum minallah hablum minannas, kajian Qur’an dan hadist, bukan kampanye pilkada dengan menyebarkan kebencian (yang sepertinya sebentar lagi akan marak di Jawa Barat).
La hawla wa la quwwata illa billah.

Etnis Saya Melayu, Agama Saya Islam (1)

Etnis saya Melayu. Nenek moyang saya ada yang merantau ke Pulau Kalimantan jauh sebelum Islam, sehingga kini keturunan mereka beraliran kepercayaan Kaharingan. Ada yang sesudah masuk Islam kemudian bermigrasi ke Pulau Sulawesi dan sekitarnya sehingga kini ada komunitas Muslim di Makassar dll. Ada yang merantaunya jauh ke utara, ke gugusan 700 pulau yang kini kita sebut Filipina, mereka awalnya Muslim namun sebagian besar menjadi umat Katholik sejak 3-4 abad yang lalu akibat invasi Spanyol (The Philppines berarti “pulau-pulau milik Raja Philip).

Nenek moyang saya yang menolak tunduk pada kolonialisasi Kerajaan Majapahit dari Jawa di abad ke-13 kemudian bermigrasi ke Singapura (Pangeran Parameswara dari Sriwijaya tercatat sebagai pendiri komunitas di pulau itu jauh sebelum Raffles membangunnya menjadi pelabuhan singgah terkemuka hingga bekas jajahan Inggris itu menjadi salah satu negara paling makmur sejak dipimpin oleh Lee Kuan Yew).

Masih juga dikejar pasukan perang Patih Gajah Mada, Pangeran Parameswara bermigrasi ke Malaka yang kemudian menjadi cikal bakal Federasi Malaysia (nama kerajaan ini berarti “the land of Malay people” atau tanah orang-orang Melayu).

Agama saya Islam karena minimal 8 generasi di atas saya dipastikan Muslim. Tidak ada keturunan “Puyang Penghulu” (pendiri Baturaja, Sumatera Selatan) yang beragama lain. Saya belum ada rezeki untuk menelusuri lebih lanjut silsilah keluarga saya sebelum Puyang Penghulu, penasaran juga mengenai kapan Islam menjadi agama mayoritas orang Melayu kalau mengingat Candi Borobudur itu adalah peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang selesai dibangun di awal abad ke-9 sehingga mestinya saat itu mayoritas penduduk beragama Buddha.

Tidak seperti Wali Songo (lembaga serupa majelis syuro dalam ormas/partai Islam zaman sekarang) yang berdakwah dari Cirebon sampai Madura di Pulau Jawa, dakwah Islam di Pulau Sumatera tidak tercatat dengan baik atau mungkin hanya kurang terpublikasi karena masih tersimpan somewhere out there. I wish that I will find it someday, insya Allah.

Tradisi lisan di Palembang menyebut “Wali Putih” yang konon mengislamkan Ario Damar, putra penguasa Majapahit saat itu (Raja Brawijaya) saat ditempatkan sebagai gubernur di Pulau Sumatera (cikal bakal Kesultanan Palembang yang wong Jowo bukan asli Melayu) di awal abad ke-15 di masa Sunan Ampel mulai menyebarkan Islam di Pulau Jawa.

Tercatat bahwa Mbah Priuk (Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad, keluarganyalah yang pertama kali menyebarkan Islam di Sunda Kelapa, kini menjadi Jakarta, di abad ke-18) lahir dan besar di Palembang,tidak seperti Habib Luar Batang yang datang dari Yaman. Siapakah sebenarnya Wali Putih? Apakah kakek moyang Mbah Priuk?

Ada kesalah-pahaman bahwa Islam menyebar di Indonesia melalui ulama-ulama beretnis China, yang paling terkenal: Laksamana Cheng Ho. Yang sebenarnya, pemimpin armada laut utusan Kaisar China itu menjalankan misi eksplorasi samudera dan tidak pernah bermukim lama di mana pun di Nusantara. Ia beretnis Arab, bernama asli Ma He (“muhammad” dalam versi Bahasa China), cicit dari Sayyid Ajjal Shams al-Din Omar kelahiran Bukhara, ahlul bayt yang diberikan jabatan oleh Kaisar Mongol sebagai penguasa wilayah Yunnan di abad ke-13.

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Ajjal_Shams_al-Din_Omar

Lebih jauh lagi, ada yang menyebut Wali Songo beretnis China karena nama para wali itu dicatat sebagai Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo-Toh A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu-Ja Tik Su, Sunan Muria Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat, dan Sunan Giri yang merupakan cucu dari Bong Swie Ho.

Sebenarnya kedelapan wali itu beretnis Arab namun kesulitan orang China melafalkan sesuai lafal asli membuat mereka mencatat dalam transliterasi yang berbeda (seperti Raden Fatah dicatat namanya sebagai Panembahan Jinbun, berasal dari frasa “jin wen” yang berarti “orang kuat”).

(BERSAMBUNG)

NU Kok Gitu?

Malam ini kepikiran: NU kok gitu?

Ormas ini berdiri tahun 1926, anggotanya sekitar 90 juta orang, punya Banser yang tak diragukan militansinya. Ribuan kyai NU tersebar dari Sabang sampai Merauke yang masing-masing memiliki ribuan santri dan alumni yang semuanya 100% manut, siap dikerahkan.

Zuhri (2012) menjelaskan: Dalam pandangan NU, sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintah NKRI adalah pemerintahan yang sah sesuai hukum Islam, dan oleh karenanya, buat NU tidak diragukan lagi bahwa negeri Indonesia adalah negeri Islam…sementara ormas-ormas yang baru berdiri seperti HTI dan FPI malah berusaha mengubah negara ini menjadi kekhalifahan atau “NKRI bersyariah”!

Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri dan Rais Aam Syuriyah NU mengeluarkan Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 (sejak tahun 2015 diperingati sebagai Hari Santri) yang memiliki tiga poin penting. Pertama, hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf yang berada dalam radius masafat al-safar. Kedua, perang melawan penjajah adalah jihad fi sabilillah, dan oleh karena itu umat Islam yang mati dalam peperangan itu adalah syahid. Ketiga, mereka yang mengkhianati perjuangan umat Islam dengan memecah-belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah, wajib hukumnya dibunuh.

Terbukti resolusi itu menjadi pengobar utama semangat perjuangan Muslim di Jawa Timur sehingga pasukan sekutu yang memenangkan Perang Dunia Kedua, menghancurkan pasukan Hitler di Jerman dan mengalahkan Jepang, tidak berdaya menghadapi pasukan Indonesia yang hanya bersenjata seadanya. Masya Allah. Tanpa fatwa dari Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari itu, bisa jadi Indonesia masih akan dijajah Inggris seperti India/Malaysia/Singapura/Brunei sampai negara-negara itu diberi kemerdekaan beberapa tahun kemudian.

Pada Muktamar NU ke-XVI di Purwekorto 26-29 Maret 1946, KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan. Dengan kata lain, syariat Islam tidak akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah. Oleh karena itu, usaha kaum penjajah untuk merampas kemerdekaan itu adalah usaha yang harus dilawan atas nama jihad fi sabilillah. Fatwa ini masih relevan sampai sekarang. Indonesia harus tetap merdeka, tidak boleh dikuasai negara lain pun tunduk pada kekhalifahan pihak asing (menurut gerakan Hizbut Tahrir, menerima khilafah berarti Indonesia menjadi “hanya salah satu provinsi” dari wilayah kekhalifahan).

Yang mengherankan, kyai-kyai NU sama sekali tidak pernah berniat menggulingkan kekuasaan seperti yang terjadi di Iran (tahun 1979 terjadi kudeta menjatuhkan Shah Reza Pahlevi yang mengakhiri monarki sehingga berubah menjadi Republik Islam yang persis sistemnya dengan pemerintahan Darul Islam di masa Khulafaur Rasyidin). Ketua Umum NU, Gus Dur, terpilih menjadi Presiden RI melalui proses demokratis, voting, dalam Sidang Umum MPR tahun 1999.

Berbeda sekali dengan so-called-ulama seperti Sambo, Rizieq, Gatot Saptono (Al Khothoth) dll yang ambisinya terhadap kekuasaan terpampang vulgar, kyai-kyai NU memilih menjadi guru pengajar agama.

Warga NU yang puluhan juta jumlahnya itu taat pada perintah kyainya yang selalu adem ayem bebas dari hasrat berkuasa di masa Indonesia merdeka ini. Maka, tidak ada cerita jamaah NU berlaku anarkis bahkan ketika Gus Dur digulingkan tahun 2001.

Media massa internasional mencatat NU sebagai ormas yang berperan besar menekan jumlah warga Indonesia yang “berjihad” di Iraq dan Suriah. Hanya ada sekitar 700 orang WNI di sana (segitu pun disebut over-estimated), berarti 0.0003% saja dari jumlah total Muslim di sini, jauh lebih rendah dari jumlah Muslim Prancis (1,700 orang) atau Rusia (2,400 orang) atau Tunisia (6,000 orang).

https://www.theatlantic.com/international/archive/2016/01/isis-indonesia-foreign-fighters/422403/

Kok bisa gitu ya NU?

*Foto diambil tanggal 9 April 2017, http://www.jawapos.com/show/photo/584/istighotsah-kubro-warga-nahdliyin-di-gor-sidoarjo

Sekarang…Diam Bukan Pilihan!

Hadeeeuuuh…belasan tahun sebenarnya gw nggak peduli sama politik, udahlah kerja aja. Gunakan pikir dan raga untuk berkarya, menjadi manusia yang produktif menghasilkan barang atau jasa.

Masuk FMIPA UI tahun 1992, pindah ke FTUI tahun 1993, gw mulai ikut demo sewaktu Soeharto membredel Tempo (1994). Setahun kemudian Sri Bintang Pamungkas dipenjara atas tuduhan makar, jadilah demo-demoan juga demi Pak Dosen yang sempat mendirikan “partai ke-4” (zamannya cuma boleh ada PPP-Golkar-PDI) dan mencalonkan diri sebagai Presiden RI. Tahun itu juga gw ikutan demo anti reklamasi Teluk Jakarta, jadi panitia seminar Call of The Earth (COTE) 1995 yang diselenggarakan oleh kelompok mahasiswa pecinta alam KAPA FTUI membahas manfaat dan dampak proyek yang digawangi keputusan presiden itu.

Tahun 1996, ramenya karena Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Ketua Umum PDI namun pemerintah mengintervensi dengan mendukung Soerjadi sehingga terjadilah insiden 27 Juli. Tahun yang heboh, LBH jadi tempat nongkrong gw sekalian solider sama yang hampir mati karena mogok makan (gw cuma bisa bantu mengolesi bibir mereka yang kering berdarah dengan air supaya berkurang penderitaan badan yang sudah kering nggak bisa bergerak).

Tepat 20 tahun yang lalu, gw masih demo-demoan karena Soeharto kembali “terpilih menjadi Presiden RI secara aklamasi oleh seluruh anggota DPR/MPR-RI”, Mbak Tutut menjadi Mensos, lalu ekonomi terpuruk akibat dolar AS yang melonjak nilai tukarnya dari Rp.2,500 menjadi Rp.15,000 (harga Indomie naik dari Rp.200 menjadi Rp.700 per bungkus). Ada berkahnya juga sih, gw jual cincin dan anting laku Rp.150,000 per gram (setahun sebelumnya cuma Rp.35,000).

Setahun kemudian, tanggal 12 Mei 1998, gugur Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam Kampus Trisakti, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

Keesokan harinya, tanggal 13-15 Mei 1998, meletuslah kerusuhan di Jakarta yang diskenariokan “pribumi vs China”. Hancurlah perekonomian bangsa. Soeharto kehilangan dukungan. Menteri-menteri dan lembaga legislatif/yudikatif membelakangi. Militer tidak lagi taat pada tirani. Saya dan teman-teman bisa menduduki Senayan (terima kasih buat Jenderal Wiranto yang telah mengizinkan kami). Tanggal 21 Mei 1998 akhirnya Soeharto mengundurkan diri.

Tugas gw sebagai aktivis pun selesai. Waktunya kembali ke kampus, lulus sidang skripsi tanggal 30 Desember 1998, diwisuda sebulan kemudian, akhirnya jadi karyawan baik-baik, cari duit dengan cara biasa seperti orang kebanyakan (amit-amit jangan sampai kayak FH dan FZ), menikah dan punya anak.

Pemerintahan silih berganti, gw nggak peduli. Bahkan ketika bertemu lagi dengan Pak Bintang (pembimbing thesis selama S2 di Teknik Industri UI, 2008-2010) pun gw lebih tertarik ngomongin gosip artis ketimbang kondisi dan masa depan Indonesia. Nggak usah dipikirin, jalanin aja, negara ini toh baik-baik aja walaupun presidennya lebih sibuk bikin lagu ketimbang kerja, sesekali dia curhat di TV kalau lagi ketakutan diincar sniper, sementara itu Rp.6 triliun raib dari brankas BI (konon buat menyelamatkan Bank Century), puluhan proyek pemerintah mangkrak dan rakyat harus survive sendiri bagaikan naik pesawat dalam mode auto-pilot.

Namun ternyata terpaksa juga gw ngomongin politik saat Jokowi tampil di Pilkada DKI 2012. Gw (yang cuma seorang di antara jutaan orang yang menginginkan perubahan) nggak boleh lagi cuma diam. Gw harus bergabung bersama yang lain memberi kesempatan bagi orang baik agar bisa menjadikan negara ini kembali mendapatkan kejayaan seperti di masa Sriwijaya dulu…negara maritim yang kaya buminya, tinggi kebudayaannya, masyhur jauh dari China sampai ke Madagaskar melintasi samudera.

Pilpres 2014 mengangkat Jokowi menjadi Presiden RI against all odds. Akhirnya menang melawan pensiunan jenderal dari trah Cendana yang kaya raya itu sesuatu banget lho buat seorang pengusaha meubel yang keluarganya diisukan bukan wong Jowo Muslim melainkan aslinya China Kristen, ibunya komunis Gerwani, dia sendiri disebut pendukung Syiah sekaligus antek Amerika zionis kapitalis (tinggal badge LGBT yang belum disematkan kepadanya).

Dupol (saingan dumay dan dugem) mulai heboh lagi sejak tahun 2016 yang lalu. Klimaksnya kemarin (9 Mei 2017), Ahok divonis 2 tahun penjara sehingga langsung menjalani hukuman. Kesalahannya: Menyampaikan kebenaran bahwa “Jadi saya ingin cerita ini supaya bapak ibu semangat. Jadi enggak usah pikiran ‘Ah nanti kalau enggak kepilih pasti Ahok programnya bubar’. Enggak, saya sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho (orang-orang tertawa-red). Itu hak bapak ibu, ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak bisa pilih nih, saya takut masuk neraka dibodohin gitu ya, enggak apa-apa, karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibu enggak usah merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa pilih Ahok, enggak suka sama Ahok nih. Tapi programnya, gue kalau terima, gue enggak enak dong sama dia. Kalau bapak ibu punya perasaan enggak enak nanti mati pelan-pelan lho kena stroke. (orang-orang tertawa-red)”

Maka gw nggak bisa lagi diam sebagai silent majority. Pilpres 2019 sebentar lagi, perjuangan melalui medsos harus sudah dimulai.